Minggu, 10 April 2011

DIALOG SEBAGAI WACANA BOLA LIAR

Octovianus Takimai*

Pengantar
Eskalasi gangguan keamanan di tanah Papua kian meningkat, keadaan tersebut membuat kebingungan sementara pihak di Papua. Duga menduga, tebak menebak siapa yang bermain dan kepentingan siapa yang bermain mulai merebak di segenap lapisan dan kelompok, tidak hanya menjadi buah bibir kelompok menengah ke atas tetapi juga masyarakat akar rumput (grassroots), baik asli Papua maupun pendatang yang kerap di sapa amber.
Ketika sejumlah soal itu berkecamuk, beberapa pihak justru sibuk meyakinkan kelompok-kelompok garis keras dan lunak serta pemerintah pusat akan opsi penyelesaian masalah Papua melalui jalan dialog. Kelompok ini terdiri dari sejumlah LSM, Tokoh Agama, Pengacara, Peneliti, Dosen, Pemuda mahasiswa dan perwakilan organisasi sipil lainya.

Upaya Dialog
Baru-baru ini LIPI menelurkan sebuah buku dengan judul Papua Road Map, buku tersebut menampilkan sejumlah soal secara garis besar sekaligus menawarkan sebuah solusi normatif yakni dialog sebagai jalan penyelesaian atas masalah Papua.
Tidak lama berselang juga telah terbit sebuah buku kecil dengan judul dialog Jakarta Papua, karya seorang Rohaniawan Papua Neles Tebay. Dalam buku tersebut juga di gambarkan bagaimana tahapan menuju dialog di bangun.
Boleh di katakan kedua buku ini saling melengkapi. Baik buku Papua Road Map maupun Dialog Jakarta Papua muncul dari sebuah kesadaran akan penting dan mendesaknya sebuah dialog di lakukan. Perlunya sebuah dialog adalah buah dari berbagai pengalaman dan penelitian atas sejumlah masalah di papua.
Dalam pertemuan dengan Pengurus besar Nahdatul Ulamah di Jakarta tanggal 29 Mei 2009, peneliti senior yang juga salah satu penulis buku Papua Road Maps, Muridan S Widjojo menjelaskan bahwa dialog yang di tawarkan adalah dalam rangka mendorong pemerintah menciptakan Papua baru.
Tentunya wacana dialog ini sedang menjadi bola liar yang bergulir di antara pemerintah, masyarakat sipil dan pihak lain yang berkepentingan, masing-masing stakeholder di harapkan turut mengambil peran sehingga dialog ini menjadi bermakna.
Apapun bentuknya, solusi demokratis adalah sebuah jalan yang kiranya perlu mendapat perhatian semua pihak dalam rangka menekan konflik antara Papua-Jakarta. Perbedaan pendapat antara para pihak baik papua maupun non-papua adalah sebuah dinamika yang wajar serta tidak perlu di hindari. Sebaliknya perbedaan ini patut di dorong dalam rangka menciptakan ruang dialektika dalam memperkaya wacana dialog yang di maksud.
Pada bagian tersebut, tahapan dialog yang di gambarkan oleh Neles Tebay adalah bagian penting yang patut di lewati guna memastikan sejumlah isu seperti yang di gambarkan oleh Tim LIPI yakni: Marjinalisasi dan diskriminasi orang papua, Kegagalan pembangunan, Kontradiksi sejarah papua dan Pertanggung jawaban atas kekerasan negara, dapat di selesaikan dengan baik.
Sejauh hal tersebut di sepakati dengan niat baik, maka bola liar dialog akan makin terkontrol dengan baik, mampu di arahkan sebagai proses pendekatan terhadap sejumlah substansi soal ada. Dengan demikian dapat mengakomodasi segalah kepentingan baik jakarta dan Papua dalam satu irama demokrasi yang bermartabat.
Tugas berat selanjutnya adalah bagaimana meyakinkan para pihak tentang pentingya dialog sebagai upaya jalan damai. Sejumlah hal yang barangkali akan menjadi kerikil dalam pelaksanaanya adalah ketidakpercayaan, keamanan, stigma, ego dan nilai tawar politik.
Sikap ketidakpercayaan Papua terhadap Jakarta sudah berlansung lama dan masih terus berlangsung hingga kini, sebut saja pada masa lalu pelaksanaan PEPERA yang harusnya di ikuti oleh seluruh rakyat Papua ternyata hanya di wakili 1.025 orang, berikut pada era otonomi khusus, sejumlah aturan yang patutnya menjadi instrumen otonomi khusus

Stigmatisasi
Pemberian stigma separatis bagi orang Papua adalah suatu yang lumrah. Orang papua yang berambut gimbal, kumis dan jenggot tebal di kategorikan OPM. Ungkapan serupa pernah di terungkap pada pengadilan kasus abepura berdarah di makasar 2005, ketika kapolda papua Daud sihombing di tanya seputar ciri-ciri OPM, dia mengatakan OPM adalah, orang papua yang berambut gimbal, kumis tebal. Sementara di papua banyak anak muda lebih menyukai rambut ala Bob Marley, apakah mereka OPM?
Stigma tersebut menjalar dalam semua aspek kehidupan, misalnya dalam ekonomi kerakyatan, bahwa ada wacana berkembang orang Papua tidak akan berkembang karena tingginya rasa kasih dan hidup sosial, termasuk juga orang papua tidak mengenal budaya menabung, apakah itu benar?
Selain politik dan ekonomi, pemberian stigma menjalar dalam sejumlah aspek, misalnya aspek pendidikan dan kesehatan. Sejak lama orang papua tidak menjadi prioritas dalam pendidikan, sederet alasan menjadi pembenaran atas relitas ini, diantaranya: masih di anggap bodoh dan tidak bisa bersaing dengan dunia luar, ada juga ketakutan di segelintir orang, bahwa jika orang papua berpendidikan tinggi maka mereka akan menuntut merdeka atau lepas dari indonesia, dst.
Sementara dalam hal kesehatan, sebagai daerah konflik, pelayanan kesehatan tidak berjalan maksimal, penyakit menular menjalar dengan cepat, kejadian ini di latarbelakangi oleh kurangnya upaya promosi dan preventif. Dalam beberapa kesempatan pemerintah justru menyalahkan gaya hidup masyarakat yang masih komunal dan tidak sadar akan kebersihan.

Rasa Percaya
Bahwa dalam kehidupan antara sesama perlu ada rasa saling percaya, sehingga harmonisasi tetap terjaga dengan baik.
Dalam hubungan antara orang papua dan pemerintah Jakarta, kepercayaan adalah hal rapuh yang yang harus di bangun dan di jaga. sebuah kepercayaan akan bermula ketika pihak yang saling tidak percaya membuka diri, mengakui kesalahan dan mau mencari jalan keluar bersama, dan proses ini hanya dapat di antarai oleh sebuah dialog.
Selama 50 tahun atau sejak ber-integrasi dengan Indonesia pada tahun 1969, ketidakpercayaan di mulai di sana, orang Papua merasa di curangi dalam referendum yang seharusnya berasaskan ”one man one vote” ternyata yang memilih hanya 1.025 jiwa dari perkiraan 800.000 penduduk pada waktu tersebut.
selanjutnya dalam pembangunan sebagai bagian dari indonesia, orang papua termarginalisasi, misalnya dalam model pembangunan Transmigrasi, kedatangan penduduk dari luar papua seperti, Jawa, Madura, Bali, NTT,NTB, di fasilitasi dengan dengan baik, baik dari peralatan, perumahan, tanah dan fasilitas dasar pendukung seperti sekolah, pasar, pelayanan kesehatan, rumah ibadah.
Sementara penduduk asli papua berada dalam situasi yang kontadiktif, sebut saja misalnya: pembangunan perumahan dan lahan garap bagi transmigrasi, menyebabkan penduduk asli harus berpindah dari tempat tinggal mereka, kalau tidak di pindahkan dengan paksa karena alasan kesetian pada aturan negara. Belum lagi mereka harus memulai membuka lahan garap baru, dan juga konflik karena berada di hak ulayat suku atau klan lain, yang kemungkinan akan menciptakan konflik horisontal di antara orang Papua. Hal ini berlansung hingga program transmigrasi pada akhir tahun 1980-an
Sejumlah pelanggaran hak asasi manusia oleh instrumen pemerintah/ negara yakni militer di tanah papua, dan sejumlah kasus itu tidak pernah di selesaikan secara manusiawi, melalui pengadilan atau pun rekonsiliasi, satu kasus yang pernah sampai di meja pengadilan adalah kasus abepura berdarah tahun 2002, yang memutuskan bebas pelaku kejahatan atas Hak asai manusia
Dan yang paling akhir adalah otonomi khusus. Otonomi khusus idealnya adalah jalan tengah antara pemerintah jakarta dan orang papua, dalam mendamaikan antara keinginan merdeka orang papua dan usaha indonesia dalam mempertahankan Papua dalam NKRI. Sayangnya kebijakan jalan tengah ini tidak lahir dari sebuah komunike bersama antara rakyat dan pemerintah. Cenderung di paksa dan kemudian segalah kewenangan di pangkas dengan dalil keutuhan NKRI
Prosesnya sama seperti bagaimana wacana dialog sedang berkembang. Dahulu, ketika bola liar otonomi khusus itu di lempar, terjadi dua fenomena, pertama orang papua yang di penuhi euforia merdeka menganggap otsus sebagai program NKRI sehingga tidak mau ambil pusing, hanya fikir merdeka. Kedua orang papua (civil society) tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam memberikan ide, misalnya melalui kosultasi publik.
Beberapa saat kemudian setelah otsus benar benar bergulir, banyak orang papua mempertanyakan keberadaan dan esensi Otsus untuk siapa? di tambah dengan realitas otonomi khusus yang hanya di nikmati kalangan terbatas yang berkuasa dan kepentingan melalui koneksi tertentu.
Apapun pendapat, suka maupun tidak, mendukung atau menentang, dialog sebagai sebuah wacana sedang bergulir. Dan bahwa semua pihak harus turut memberi input dan mengontrol serta mengevaluasinya, sehingga ketika hal tersebut terjadi, maka fenomena otsus tidak terulang pada dialog

Rasa aman
Rasa aman adalah kebutuhan yang sangat mendesak untuk masuk dalam sebuah alur demokrasi atau wacana demokrasi yang hendak di bangun, siapa saja yang akan menjadi sasaran sebuah wacana mutlak di libatkan secara aktif, proses dialektika dalam demokrasi akan mengantarkan pada sebuah keputusan yang memenuhi rasa keadilan para pihak dalam dialog.
Untuk sampai pada proses demokrasi yang di wacanakan, perlu ada penciptaan situasi aman, sehingga ini proses di lalui dalam situasi yang normal, ini akan menunjukan sejauh mana proses demokrasi ini menjawab rasa keadilan pula, artinya pula tidak mengulangi sejumlah sejarah ketidakadilan pada masa lampau hingga sekarang.
Orang papua dan pemerintah harus sepakat untuk masuk pada situasi aman, dan kesepakatan ini harus di jaga oleh masing masing pihak, dengan cara menahan diri untuk masuk pada upaya provokasi dan skenario konflik.
Kesepakatan tersebut lahir pula proses dialog itu sendiri, dialog bermula sejak inisiatif dialog itu lahir hingga esensi dari persoalan yang di dialogkan di anggap selesai, karena itu dialog adalah suatu yang utuh, dan menjadi bingkai dalam sebuah penyelesaian konflik
Karena itu setiap orang papua baik secara kelompok maupun pribadi perlu melihat proses dialog ini sebagai upaya jalan damai yang bermartabat. Jika ada pendapat diluar mekanisme dialog pun perlu di bicarakan sehingga dapat di pertanggung jawabkan kepada rakyat.
Jika merasa tidak sepakat dengan upaya dialog yang sedang di dorong, adalah suatu yang wajar dalam alam demokrasi, yang terpenting adalah demi kemaslahatan semesta papua. Menjadi tidak wajar adalah tindakan kontroversi tanpa suatu landasan/angan agan, yang kemudian melakukan pembusukan terhadap proses demokrasi yang di bangun melalui dialog.

Konsultasi Publik Jaringan Damai Papua (JDP)
Dalam beberapa konsultasi publik yang di lakukan tim Jaringan Damai Papua (JDP) di temukan upaya upaya seperti pembusukan dan lebih dari itu penipuan kepada rakyat papua secara besar-besaran, misalnya undangan konsultasi publik dialog di sebarkan oleh sekelopok anak muda papua beserta dengan buletin yang isinya tentang janji bahwa bulan Agustus 2010 akan ada referendum bagi papua dan CD Video perjuangan papua merdeka dengan harga Rp. 100.000.
Konsultasi publik dialog bukan ajang janji, tetapi sejatinya adalah ruang explorasi pendapat sekaligus pendidikan demokrasi bagi rakyat tentang bagaimana melakukan sebuah demokrasi, sekaligus dengan membangun kepercayaan dalam perwakilan yang di percaya untuk berbicara. Hal seperti menjadi Investasi berharga dalam proses hidup bermasyarakat dimana dengan mekanisme serupa orang atau kelompok orang dapat menyelesaikan persoalan mereka, upaya membangun jalan damai dalam kelaur dari masalah.
Ketika ada kepercayaan pada seseorang yang mereka tunjuk misalnya dalam konsultasi publik maka pada pada saat yang sama orang terpercaya melakukan mandat, berbicara sesuai dengan apa yang di sampaikan tanpa menambah atau mengurangi.
Di sejumlah daerah yang barangkali mengalami degradasi kepercayaan maka hal seperti ini patut di mulai dalam menumbuhkan kembali kepercayaan. Ruang ruang dialog sudah sepantasnya di buka dari kota hingga ke pelosok pelosok kampung, boleh jadi dengan mendirikan forum diskusi rakyat, dengan itu pula keputusan kolektif rakyat akan lahir tidak saja untuk hal besar tetapi dalam kehidupan kampung, seperti kebersihan, pembangunan, pendidikan.
Semakin orang berjumpa dan berbicara secara terbuka, maka bersamaan dengan itu pula kepercayaan lahir beserta dengan legitimasi atas permufakatan. Hal seperti ini menjadi penting guna meminimalisir sejumlah tindakan atas nama yang kerap di lakukan elite/perseorangan.
Rakyat harus di ajarkan bahwa kekuasaan ada pada mereka, sehingga mereka pula yang memutuskan masa depan mereka, tugas kaum terpelajar adalah mengantarai pendapat rakyat dengan mekanisme dalam proses yang lebih lanjut, penting bagi kaum terpelajar menjaga agar pendapat rakyat itu mencapai sasaran.
Tentu dalam perjalanan pendapat itu berhadapan dengan halangan dan rintangan, di situ pula tugas kaum terpelajar memungsikan keterpelajaranya dalam menjaga agar ide dasar rakyat terjaga dan tercapai.
Suatu capaian dari ide kerap berhadapan dengan sejumlah jalan, masing masing jalan memiliki keunggulan dan kekurangan, di situ sebuah strategi menjadi penting, bagaimana kemasan isu itu mampu terakomodir, dan sampai tujuan.
Proses ini pun harus terjelaskan kepada rakyat secara rasional sebagai bentuk pertanggung jawaban atas mandat/kepercayaan dari proses yang hendak atau sedang di lalui. Dengan demikian rakyat ikut terlibat secara moral. Menyadari hal itu Tim JDP dalam sejumlah konsultasi publik tidak menjanjikan hasil tetapi lebih memperlihatkan sebuah proses yang hendak di lewati.

Penutup
Bahwa Papua baru sebagai sebuah konsep yang ada dalam masing masing orang atau kelompok tentu berbeda. Perbedaan adalah sebuah keunikan agung manusia yang tidak perlu di perdebatkan, justru yang perlu di perdebatkan adalah tindakan dalam mengaliri konsep tersebut.
Upaya mengaliri ini sudah barang tentu di hadapkan pada sejumlah pilihan, pilihan tersebut di antaranya seperti: referendum, dialog, perang, perundingan, dst. Semua ide itu memiliki titik lemah dan kuat, yang hanya dapat di mengerti dengan mendalaminya.
Apapun pilihan yang di ambil kemudian sebagai jalan keluar adalah baik adanya, selama jalan itu tidak justru menghancurkan capaian yang hendak di tuju, dan yang terpenting adalah saling menghargai atas masing masing inisiatif yang sedang di dorong.
Jaringan Damai Papua telah memilih jalan dialog damai sebagai proses penyelesaian masalah atas di Papua dalam rangka mencapai ”Papua Baru” Semoga….!

*Penulis adalah Aktivis Jaringan Damai Papua (JDP), tinggal di Timika – Tanah Papua.
http://miyeida.wordpress.com/2011/04/05/dialog-sebagai-wacana-bola-liar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar