Konfrensi Pers : Rabu, 20 Juli 2011
Suara
Pastrol Kenabian :
GEREJA
MELAWAN PROYEK STIGMATISASI MILITER
Logo Kingmi Papua |
Dalam penghayatan iman Kristen dan
ajaran gereja kami bahwa Pemerintah dan Negara ditetapkan oleh Allah dengan
maksud agar menjadi alat untuk melindungi dan membebaskan kelompok yang tertindas dan terhina, menjadi
alat keadilan, menegakan hukum, memberikan rasa aman dan mendatangkan sejahtera
bagi umatnya (Mazmur 72), bukan justru memberi dan menciptakan stigmatisasi
negative terhadap kaum papa dan terlantar yang kemudian dipakai lagi sebagai
surat izin untuk membangun dan melahirkan semangat radikalisasi di antara umat
Tuhan yang kemudian dijadikan lagi alat pembenaran untuk menteror,
mengintimidasi, membunuh, umat Tuhan di
Tanah Papua.
Mengadakan Ibadah dengan
mengambil ruang publik dilaksanakan
dalam rangka untuk mengenang orang-orang asli Papua yang mati terbunuh karena
Stigmatisasi militer. Beberapa nama warga Gereja yang mati dalam stigma militer
adalah : Pdt. Elisa Tabuni, Pius Magay, Pdt. Kindeman Gire, Pdt.Korinus
Berotobuy dan masih sejumlah deretan panjang nama dalam pusara tak bernama.
Proyek stigmatisasi ini telah
berurat akar di Tanah Papua dalam sejarah umat Tuhan di Tanah Papua sejak 1963.
Dengan proyek stigmatisasi militer ini telah mengubah Papua sebagai “situs
kekerasan, situs ratapan, situs konflik. Papua yang dikondisikan sebagai Ladang
Garapan Konflik membuat umat Tuhan yang hidup di Tanah Papua mengalami nasib
hidup yang malang
seperti dituliskan dalam Kitab Suci kami : milik pusaka kami beralih,ayah dibunuh anak menjadi
yatim, ibu menjadi janda, air diminum dengan membayar, kami dikejar dekat-dekat
(Ratapan 5).
Gereja Kingmi Di Tanah Papua
telah ada dan berkarya di Tanah Papua sejak 1938. Ia hidup dan tumbuh dengan
menghayati iman Kristen dalam sebuah konstruksi realitas sejarah
penderitaan-traumatis kolektif umat Tuhan akibat kebijakan Negara dan
pembangunan yang cenderung menggunakan teori dan pendekatan kekerasan ketimbang
memilih pendekatan yang dialogis sebagai cara dan sarana untuk menyelesaikan
persoalan di Tanah Papua sejak tahun 1963. Daniel Dakidae seorang peneliti dari media Kompas
menyebutkan hal ini merupakan praktek indikasi bahwa sedang terjadi proses
penjajahan/perbudakan internal “disguised slavery” .
Dengan menerima stigma sebagai
gereja suku dan Gerakan pendukung Papua Merdeka. Kami memandang bahwa usaha
menambah penderitaan panjang dan penjajahan akan terus berlanjut terhadap warga
Kingmi Papua dalam system Negara Indonesia.
Usaha untuk mewujudkan Papua
Tanah Damai yang secara gamblang dikampanyekan melalui pemasangan sejumlah
spanduk yang menghiasi Kota dan Mempercantik Gerbang dengan Kata-Kata Yang
Menawan “ DAMAI ITU INDAH” oleh Mayor Jendral Erfi Triassunu ternyata hanyalah
sebuah “slogan belaka”.
Persoalan gereja bukan persoalan
elit gereja sebagaimana yang diakui dan dijelaskan Pangdam Mayjend Erfi
Triasunu (bintang Papua, 19 Juli 2011:http://bintangpapua.com/headline/12755-pangdam-tegaskan-tak-tuding-kingmi-separatis).
Semua persoalan gereja secara hukum resmi sudah final di putusan Mahkamah
Agung. Kenapa Pangdam (Panglima Daerah Militer) Papua Mayjend (Major Jendral)
Triassunu mau mempolitisir masalah dengan dalih jaminan keamanan bagi anggota
GKII (Gereja Kristen Injili Indonesia) base in Jakarta. Apakah ada pasukan
bersenjata dalam Gereja KINGMI?
Dalam kepercayaan dan ajaran
gereja kami, cara lembaga militer melihat gereja amat berbeda dengan cara Tuhan
melihat gereja kami. Tuhan yang kami percayai selalu menjaga, merawat,
mengasihi, sekalipun kami sampaikan pikiran ini sambil membuat dosa dan melawan
hukum-hukum-Nya. TUHAN tetap mengasihi kami bahkan menyerahkan nyawa-Nya bagi
umat dan kawanan domba-Nya sebagai tebusan Kasih-Nya. Kami sampaikan pikiran
ini sambil berdoa ke depan supaya Tuhan memberi pencerahan agar semua pihak
bisa tahan diri bekerja mewujudkan Papua Tanah Damai.
Kami sebagai gereja juga menghimbau kepada pemerintah
sebagai alat Tuhan untuk membebaskan yang tertindas. (Lukas 4:18-19)
Jayapura, 20 Juli 2011
Gereja Kemah Injil
(Kingmi) di Tanah Papua
(Pdt. Dr. Benny Giay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar