![]() |
Demo di DPRP & Gubernur (8/3/11) |
Pernyataan Sikap: GULA-GULA POLITIK OTSUS PAPUA SUDAH GAGAL TOTAL,RI JANGAN TIPU RAKYAT BANGSA PAPUA DENGAN GULA-GULA POLITIK UP4B
Papua dahulu identik dengan “surga dunia”; namun Papua kini identik dengan “dapur neraka” alias “dapur konflik”. Mengapa menjadi dapur konflik? Pertama, ketika Papua menjadi perebutan antara Belanda dan Indonesia yang saat itu dibayang-bayangi oleh Amerika Serikat, bibit konflik pertama telah ditanamkan. Pemerintahan Belanda tidak bertanggung jawab atas janjinya kepada rakyat bangsa Papua untuk membentuk Negara Berdaulat. Pada tahun 1960-an ketidak-puasan atas kehadiran Indonesia di Papua, muncullah gerakan perlawanan dari rakyat bangsa Papua secara alami. Karena kepentingan Investasi (ekonomi kapitalis) Amerika Serikat terkait dengan PT. Freeport dimana perjanjian kerja sama (MoU) ditanda-tangani pada tahun 1967, maka Amerika Serikat membantu Indonesia untuk mencaplok bangsa Papua ke dalam NKRI melalui suatu proses yang tidak sesuai dengan standar hukum Internasional, yang menurut Prof. Dr. Drooglever dalam kajian ilmiah buku ‘Sejarah Papua’ mengatakan: Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 itu “cacat hukum dan moral”;
Kedua, untuk mempertahankan wilayah kekuasaan NKRI, maka operasi militer digelar di Tanah Papua, inilah bibit konflik kedua. Operasi militer yang digelar menurut Indonesia menumpas TPN/OPM. Kebanyakan rakyat sipil Papua korban dari operasi militer baik disaat proses aneksasi dan pencaplokan, maupun pasca pencaplokan, lebih khusus direzim almh. Soeharto selama 32 tahun menduduki tahta presiden RI.
Ketiga, pendekatan pembangunan di tanah Papua adalah pendekatan pembangunan penipuan, pembangunan pemaksaan, pembangunan pemarginalisasian, pembangunan pembodohan, pembangunan diskriminalisasi, pembangunan yang mengabaikan hak-hak dasar orang asli Papua, singkatnya pembangunan bias pendatang, alias ketidak adilan dalam berbagai bidang kehidupan; inilah bibit konflik yang ketiga.
Konflik politik antara Belanda dan Indonesia yang diikuti dengan konflik kepentingan investasi antara para kaum kapitalis, lebih khusus Amerika Serikat telah menanamkan bibit konflik yang kini melahirkan konflik laten kejahatan kemanusiaan Negara Indonesia terhadap orang asli Papua; dan konflik laten ketidak-adilan dalam pelbagai dimensi kehidupan. Jika kita cermati sesungguhnya, maka sumber konflik di Tanah Papua berawal dari konflik kepentingan politik dan ekonomi; konflik inilah yang melahirkan konflik laten kejahatan kemanusiaan Negara Indonesia terhadap orang asli Papua dan ketidak-adilan dalam berbagai aspek kehidupan.
Ketika Negara Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998 yang disertai dengan penggulingan rezim almh.Soeharto, konflik laten politik (sejarah Papua) yang sudah lama dikekang di bawah rezim almh.Soeharto terkuak ke permukaan. Aspirasi Papua merdeka mengkristal di kalangan orang asli Papua. Aspirasi politik yang dikekang selama puluhan tahun di bawah rezim dictator, diungkapkan secara terang-terangan, didiskusikan, diseminarkan, didemokan, dan didialogkan, bahkan menaikan bintang fajar. Aspirasi Politik Papua yang mengkristal ini berpuncak pada Kongres Papua II untuk menata perjuangan lebih rapih. Namun, bangsa Papua bagai anak ayam kehilangan induknya pasca Theys Hiyo Eluai diculik dan dibunuh. Penculikan dan pembunuhan ini dilakukan untuk memuluskan gula-gula politik Jakarta “UU OTSUS Papua”.
Pemaksaan penerapan UU OTSUS Papua oleh Jakarta dan para sekutunya adalah bibit konflik terbaru yang dikemas sedemikian rupa dari hasil konfirasi kepentingan politik Indonesia dan kepentingan ekonomi kapitalis Amerika Serikat, Eropa, dan Negara kapitalis lainnya. UU OTSUS Papua adalah konflik baru yang dimodifikasi sedemikian rupa antara kepentingan politik Indonesia dan kepentingan ekonomi kapatilis. Karena UU OTSUS Papua adalah hasil modifikasi dua kepentingan - politik dan ekonomi kapitalis -, maka kini UU OTSUS Papua dipertahankan dengan menghalalkan berbagai cara, walaupun UU OTSUS Papua dalam implementasinya sudah terbukti gagal total.
Pengakuan kegagalan UU OTSUS Papua datang juga dari para pejabat pemerintah, baik pejabat pusat (Jakarta) maupun pejabat daerah, yang komentarnya seringkali dilansir melalui media massa, maupun juga dinyatakan dalam forum-forum resmi, misalnya Pengakuan Pemerintah Indonesia tentang kegagalan UU OTSUS Papua dalam pertemuan yang difasilitasi oleh PANSUS Papua (DPD RI) yang diketuai oleh Paulus Sumino pada tanggal 28 Februari 2011 di Jakarta. Pertemuan ini digelar di bawah thema: “Menyelamatkan Keberlangsungan OTSUS Papua”. Melalui thema ini mengabarkan kepada kita bahwa Negara Indonesia hendak menyelamatkan Undang-Undang OTSUS Papua; bukan menyelamatkan manusia dan tanah Papua yang sedang menuju kepunahan etnis dan kehancuran. Thema ini mengingatkan kepada kita tentang komentar Jenderal Ali Mortopo saat menganeksasi dan mencaplok bangsa Papua ke dalam NKRI: “Kami tidak butuh orang Papua, tetapi kami butuh tanah dan kekayaan Papua”.
Negara Indonesia bersama dengan Negara-Negara kapitalis (pendonor OTSUS) memandang bahwa UU OTSUS Papua harus diselamatkan apa pun alasannya, karena dalam dan melalui UU OTSUS Papua, tanah dan kekayaan alam Papua dikuasai, dikuras serta dihancurkan, seiring dengan itu manusia Papua dibasmi secara langsung dan tidak langsung. Terbukti bahwa di era OTSUS Papua telah membuka peluang bagi investor asing dan dalam Negeri terbuka lebar; seiring dengan itu kaum migrant membanjiri di seluruh pelosok Tanah Papua untuk menguasai tanah dan kekayaan alam Papua, serta menguasai pusat-pusat ekonomi. Akibatnya, orang asli Papua termarginalisasi, tersisih, terdepopulasi dan termiskin di atas tanah leluhurnya.
Sementara itu operasi sistematis secara langsung dan tidak langsung digerakan untuk membasmi orang asli Papua. Operasi terselubung dapat dilakukan melalui minuman keras, HIV/AIDS, pengijinan pembangunan bar dan lokalisasi oleh pemerintah, pelayanan kesehatan dengan setegah hati, tabrakan lalu lintas, peracunan, KB dan lain sebagainya. Operasi langsung, misalnya Operasi Militer di Puncak Jaya di mana rakyat sipil dibasmi oleh gabungan TNI dan POLRI.
Ruang demokrasi pun dikekang; bagi para aktifis yang menyuarakan kebenaran dan perjuangkan keadilan ditangkap, ditahan dan dipenjara; mengabaikan hak-hak dasar orang asli Papua; terciptanya ketidak-adilan dalam penegakkan hukum, penerimaan pegawai negeri yang tidak adil, penggunaan dana OTSUS Papua (28 triliun) selama tahun yang tidak jelas; KKN meraja lelah; dan lain sebagainya.
Dari uraian singkat di atas, kami dapat disimpulkan bahwa UU OTSUS Papua telah menjadi lambang kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua. Implementasi UU OTSUS Papua bukan mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua, namun implementasi UU OTSUS Papua telah mendatangkan malapetaka bagi rakyat bangsa Papua. Karena itu, UU OTSUS sudah gagal melindungi orang asli Papua, sudah gagal meningkatkan taraf hidup orang asli Papua; sudah gagal meningkatkan taraf kesehatan masyarakat, sudah gagal menciptakan keadilan, sudah gagal menegakkan hukum, HAM dan demokrasi, sudah gagal mencerdaskan orang asli Papua; singkat kata: “UU OTSUS Papua sudah gagal total”. Karena UU OTSUS Papua sudah gagal total, maka sebagai gantinya Pemerintah Indonesia sedang menggagas paket politik baru, yakni Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). UP4B ini lebih rendah dari UU OTSUS Papua.
Pertanyaannya adalah: Mengapa pemerintah Indonesia hendak meluncurkan dan menerapkan program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)? Apakah dengan adanya program UP4B akan membebaskan orang asli Papua dari segala bentuk penindasan yang sudah tertata rapi dan terencana? Pembangunan model apa yang hendak dibangun di Tanah Papua melalui program UP4B ini? Bukankah melalui program UP4B ini akan mempercepat pembantaian orang Papua dan perampasan kekayaan alam Papua? Bukankah UU OTSUS Papua adalah paket politik pembangunan yang sarat dengan kepentingan politik Jakarta dan ekonomi kapitalis yang kini sudah terbukti gagal total, yang juga semirip dengan UP4B? Kami mengartikan UP4B itu sebagai Unit Percepatan Pembantaian Orang asli Papua dan Perampasan kekayaan alam Papua. Rakyat bangsa Papua memandang bahwa UP4B adalah gula-gula politik terbaru yang dikemas dengan rapi untuk membasmi orang asli Papua, semirip dengan gula-gula politik UU OTSUS Papua.
Pemaksaan Penerapan UP4B di tanah Papua tidak akan pernah berhasil dan akan gagal, sama seperti UU OTSUS Papua yang sudah gagal total; maka pada kesempatan ini kami menyatakan dengan tegas bahwa:
1. UU OTSUS Papua sudah gagal total dan tidak layak lagi diterapkan di tanah Papua; maka UU OTSUS Papua harus segera dicabut, dan bubarkan MRP boneka Jakarta.
2. Rakyat Bangsa Papua menolak dengan tegas Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang sedang digagas di Jakarta untuk diterapkan di Tanah Papua.
3. Hentikan Pelantikan MRP dan Segera menjawab 11 Rekomendasi hasil MUBES MRP bersama orang asli Papua; dan juga meminta negara-negara pendonor segera menghentikan saluran dana OTSUS Papua.
4. Eksekutif dan Legislatif di Propinsi Papua dan Papua Barat segera mengadakan Sidang Istimewa untuk menyatakan OTSUS gagal, dan dibawa pulang kembali ke Jakarta pemiliknya dan sekutunya selambat-lambatnya tanggal 22 Maret 2011.
5. Pimpinan Gereja tertentu yang mengirimkan utusannya ke MRP jilid II segera menarik, dan juga orang Papua yang siap dilantik menjadi MRP segera mengundurkan diri selambat-lambatnya sebelum pelantikan MRP boneka Jakarta jilid II.
6. Kedua Gubernur dan wakil Gubernur di Tanah Papua sebelum berakhir masa jabatannya, segera bertanggung jawab atas semua Investasi di Tanah Papua, yang menguras kekayaan alam dan menghancurkan Tanah Papua yang berdampak pada kelangsungan hidup orang asli Papua, seperti PT. Freeport, MIFEE, Pertambangan Liar Degeuwo, Pertambangan Ilaga dan pariwisata Lorenz, Pembangunan PLTA Kapiraya, dll; juga penggunaan dana OTSUS Rp 28 triliun selama 10 tahun.
7. Yang mulia Bapak Paus di Vatikan Roma dan Dewan Gereja-Gereja Sedunia, serta Masyarakat Internasional baik secara person, lembaga non pemerintahan maupun pemerintahan (Negara) segera menyikapi berbagai masalah Papua Barat dengan serius dan mengambil langkah-langkah kongrit untuk menyelamatkan orang asli Papua dan Tanah Papua yang sedang menuju kepunahan etnis dan kehancuran.
8. Menyerukan kepada rakyat bangsa Papua dan simpatisan dalam dan luar Negeri segera konsolidasi bersatu untuk melakukan demonstrasi besar-besaran antara tanggal 22 Maret 2011 sampai dengan 4 April 2011 guna mendesak legislatif dan eksekutif di Propinsi Papua dan Papua Barat untuk mengembalikan paket politik OTSUS Papua ke Jakarta pemiliknya dan sekutunya.
Demikian siaran pers ini dibuat untuk ditindak-lanjuti oleh semua pihak demi menyelamatkan orang asli Papua dan tanah Papua yang sedang menuju kehancuran dan kepunahan etnis.
“Keselamatan bagi jiwa-jiwa yang terbelenggu tirani penindasan adalah hukum tertinggi”
Port Numbay: Selasa, 8 Maret 2011
Penanggung Jawab
Usama Usman Yogobi (Ketua SHDRP)
Selpius Bobii (Ketua Umum Front PEPERA PB)
Agus Ayamiseba (Barisan Sampari 163)
Elias Tamaka (Ketua SPM)
Ice Murib (Ketua GP2)
Manfret Naa (Ketua SONAMAPA)
Jebedius Selegani (FIM)
Misael Maisini (PAP)
Thobias Bagubau (AMPTPI)
Nataniel Rumbewas (Tokoh Gereja)
Amoye Mote (Parjal)
Mako Tabuni Wakil Ketua KNPB
Starck Y. Asso (GARDA – P)
Isen (Eks Tapol/Napol)
Didukung Penuh Oleh:
Yohanes Pedai
(Masyarakat Adat MAMTA)
Ado Bransano
(Masyarakat Adat SAIRERI)
(Masyarakat Adat BOMBERAI)
================================================
KOALISI RAKYAT PAPUA BERSATU UNTUK KEADILAN
(KRPBK)
Sekretariat: Asrama Nayak Kamkei - Abepura – Jayapura - Papua
Mobile Phone: 085244232505/081248723807
Tidak ada komentar:
Posting Komentar