- http://tabloidjubi.com/tabloidjubicom/kolom-redaksi/13734-hanya-karena-iri-ternak-sapi-ayah-dan-anak-dituduh-anggota-tpnopm.html
- Saturday, 20 August 2011 18:11
- Yang Terselip dari Peristiwa Baku Tembak Di Paniai
Tidak sedikit warga sipil dituding mendukung perjuangan Yogi. Nama-nama mereka dikantongi pihak militer, atas laporan “kaki tangan” yang juga warga setempat.
Akhir tahun 1998, Ferdinandus Tekege, salah satu pemuda Epouto, dituduh sebagai anggotanya Thadeus Yogi. Oleh beberapa oknum yang ternyata masih kerabat keluarga, Fery –sapaan akrab Ferdinandus Tekege– dilaporkan kepada pihak aparat di Enarotali, ibukota Distrik Paniai Timur, bahwa ia adalah salah anggota TPN/OPM dan sering menyelamatkan keluarga Yogi.
Tak pelak, atas jasa informan, Fery langsung diburu militer. Ia saat itu Pewarta di Paroki St. Fransiskus Assisi Epouto sekaligus menjabat Sekretaris Desa Epouto. Karena tak berhasil, istri, anak-anak serta kerabat keluarganya yang jadi target operasi. Mereka dihukum dan dianiaya.
Fery karena merasa terancam, memilih hengkang dari kampung halamannya. Meninggalkan rumah, istri dan anak-anak serta ternak piaraan. Hidup di belantara hutan, berpindah-pindah dari satu gunung ke gunung yang lain selama beberapa tahun lamanya.
Di saat operasi militer masih berlangsung, keluarga terdekat Ferdiandus Tekege masih terus diincar. Sekalipun tak ada kaitan dengan aksi Yogi, juga bukan simpatisan TPN/OPM, beberapa orang di Epouto dipukul, dihukum, direndam selama berjam-jam dalam parit bahkan di Danau Tage. Tindakan represif pasukan militer kala itu sungguh tragis! (Lihat “Seri Memoria Passionis: Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Wilayah Paniai dan Tigi, Irian Jaya; Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Oktober 1998).
***
KISAH kelam masa lalu kembali menimpa Ferdinandus Tekege. Orang yang tidak senang dengan keberadaan keluarganya, rupanya belum habis. Diam-diam, oknum tertentu melaporkan kepada pihak kepolisian bahwa ia dan anak sulungnya, Siprianus Tekege, bagian dari TPN/OPM yang bermarkas di Eduda.
Sebuah pesan singkat dari seorang polisi, beredar luas. “Ferdinan Tekege dan Siprianus Tekege harus ditangkap, disiksa dan dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Karena mereka dua adalah TPN/OPM yang dengan bebasnya ke sana - ke mari di kota Enaro”.
Demikian isi SMS yang mengagetkan seorang Kepala Dinas di Pemkab Paniai. Identitas kedua orang yang disebutkan dalam pesan singkat itu dikenal baik oleh Kepala Dinas tadi. Segera menghubungi nomor handhpone Fery dan Sipri, tapi tidak aktif. “Oh, berarti tidak ada di Enarotali. Mungkin sudah ke kampung,” pikir sang Kepala Dinas.
Ia langsung mencari orang-orang yang hendak ke Epouto. Dengan maksud, isu melalui SMS itu bisa disampaikan kepada yang bersangkutan.
Ferdinandus Tekege tercatat sebagai PNS di salah satu SKPD. Sedangkan anaknya, Siprianus Tekege sementara masih menunggu SK CPNS Formasi tahun 2009. Keduanya selama ini tinggal di rumah mereka, di Epouto. Karena belum ada perumahan dinas di Enarotali ataupun Madi. Setiap hari kerja, mereka dua berangkat dari Epouto menuju kantornya dengan terlebih dahulu menyeberang Kali Yawei. Dari Enarotali selanjutnya menggunakan jasa ojek atau bus Pemda ke Madi, begitupun sebaliknya. Hanya hari tertentu bermalam di Enarotali.
Semenjak beberapa hari terakhir situasi keamanan di wilayah Paniai tidak kondusif, banyak orang pulang kampung. Kepala Dinas berpesan kepada seorang lelaki paru baya, “Segera ke Epouto dan tolong bawa surat ini.” Diatas secarik kertas berisi kutipan SMS itu tertera pula tandatangannya, supaya bisa meyakinkan mereka dua.
Rabu 17 Agustus 2011, sekitar pukul 16.15 WIT, pemuda yang membawa kabar tiba di Potibutu. Segera setelah sodorkan surat dari Kepala Dinas, Fery langsung membuka dan membaca dengan suara lantang isi surat. Beberapa orang yang ada di rumahnya, tidak percaya. Tapi, setelah surat itu dilihatnya langsung, isak tangis pun memecah kesunyian sore itu.
Dalam suasana haru, anak istri dan sanak familinya melepas Fery dan Sipri keluar dari rumah. Meninggalkan kampung halaman dan mengungsi ke hutan.
Selama tinggal di hutan, keduanya harus berhadapan dengan situasi baru. Dingin. Hujan. Lapar dan haus juga tak bisa terhindarkan. “Sobat, sekarang ini kami dua sedang lapar sekali. Perut kosong, dari kemarin kami dua tidak makan dan minum,” Sipri mengirim SMS kepada seorang sahabatnya, Kamis (18/8) siang.
Tak ada tempat istirahat, Fery berusaha mengumpulkan kayu seadanya untuk bikin pondok di tengah hutan. Sipri dari pagi sudah lemas, karena lapar. Sesekali ia berusaha mengusir nyamuk-nyamuk hutan yang terus menggigitnya.
“Heran, di kampung kami ternyata masih ada orang berhati busuk. Mereka pergi lapor yang tidak-tidak. Kenapa bapak dan saya dituduh seperti begitu?,” keluh Sipri.
***
BUAH hati dari pasangan (alm) Nicolaus Tekege dan (alm) Lusia You itu menikah dengan Yohana Yeimo, tahun 1985. Ferdinandus Tekege dikaruniai 9 anak. Lima putra dan empat putri. Siprianus Tekege, anak pertamanya. Siprianus sendiri mempunyai satu anak, buah kasih dengan istrinya, D. You.
Ayah dan anak ini menyelesaikan pendidikan tinggi dari kampus yang sama: Universitas Satya Wiyata Mandala (USWIM) Nabire. Ferdinandus mendapat titel Sarjana Sosial (S.Sos) dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan (FISIP), tahun 2005. Sedangkan Siprianus, alumni Fakultas Pertanian. Dengan gelar Sarjana Perternakan (S.Pt) yang diraihnya medio 2009, pria kelahiran 14 Agustus 1986 itu diterima sebagai CPNS setelah mengikuti tes pada formasi 2009 lalu.
Sejak muda, Fery tergolong ulet dalam menafkahi keluarganya. Memelihara beberapa jenis ternak seperti kelinci, ayam dan babi, juga mengembangkan usaha pertanian di lahan warisan orang tuanya. Hingga kini usaha ternak masih dilanjutkan, bahkan ternak sapi miliknya berkembang sangat pesat. Jumlahnya puluhan ekor.
“Selama ini saya dengan bapak biasanya hanya mengurus ternak sapi milik kami. Mencari nafkah buat keluarga dengan susah payah. Tapi, hanya masalah kecil di kampung, orang pergi lapor ke pihak polisi bahwa kami dua masuk dalam anggota Yogi di Eduda. Ini aneh sekali.”
Tuduhan oknum warga sekampung sebagaimana dilaporkan kepada pihak kepolisian, diduga kuat karena dilatarbelakangi iri hati atas ternak sapi. “Iri hati dan mereka beberapa kali berusaha mau hilangkan nyawa kami,” kata Ferry.
Inisiatif melarikan diri ke hutan, menurut dia, semata-mata menjaga keselamatan nyawa setelah beberapa hari terakhir beredar isu adanya perang di Paniai. “Jangan sampai kami jadi korban.”
Laporan yang diterima pihak polisi, hanya akal-akalan dari “kaki tangan” mereka yang selama ini memang menjadi informan. Lantaran terlanjur “makan gaji” setiap bulan, terpaksa informan mengemas isu sedemikian rupa. Dengan harapan, bisa tetap eksis sebagai “pengumpul informasi” di lapangan.
Namun, dituduh sebagai pengikuti Yogi, terlalu berlebihan. Kecaman dari berbagai pihak pun dialamatkan kepada oknum pelapor. “Kami kutuk orang-orang itu,” ujar Kepala Suku Distrik Yatamo, Amandus Youw, Jumat (19/8) siang.
Bagi Amandus, tuduhan kepada Fery dan Sipri itu tidak berdasar. Oknum informan dianggap telah merekayasa fakta dan membohongi “atasan”. “Kapolres Paniai maupun anggotanya tolong jangan percaya omongan dari orang yang datang melaporkan,” tegasnya.
Amandus kemudian minta kepada si pelapor untuk segera menarik laporan palsu itu. “Supaya damai, karena kalau tidak, bisa saja nanti diselesaikan secara adat.”
Sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, Kepala Suku dan Tokoh Masyarakat Paniai mengharapkan kepada pihak kepolisian tidak cepat mengambil kesimpulan apalagi sampai melakukan tindakan penangkapan atau penyiksaan.
Himbauan itu bukan hanya kepada bapak dan anak yang telah mengungsi ke hutan sejak empat hari lalu. Hal sama tentunya berlaku bagi semua orang yang berdomisili di wilayah Kabupaten Paniai. Aparat keamanan harus memberi warga masyarakat rasa aman menyusul makin derasnya berbagai isu belakangan ini. Apalagi pasca kontak senjata dan rentetan tembakan pada puncak peringatan HUT ke-66 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Lapangan Soeharto, Enarotali, Rabu (17/8) lalu, sudah seharusnya pemerintah daerah dan aparat keamanan setempat menyatakan “Paniai Damai” agar kepanikan warga tidak berlangsung terus menerus.
“Seperti yang kemarin-kemarin itu jelas bikin semua orang takut. Jadi, Muspida harus segera bertanggungjawab terhadap situasi keamanan di Paniai,” ujar Kepala Suku Mee, Yafet Kayame, Sabtu (19/8) pagi di Enarotali.
Amandus sependapat. Ia juga meminta, penyebaran informasi tidak untuk menakut-nakuti orang. Semua pihak mesti berusaha menciptakan suasana tenang agar aktivitas sehari-hari bisa dilanjutkan kembali.
“Khusus Fery dan Sipri, jika ada masalah di kampung, selesaikan di kampung. Jangan malah saling jual hanya untuk dapat harga rokok,” tegasnya. “Apalagi, laporan masuk ke polisi menjelang aksi penyerangan dari TPN/OPM, lantas mereka dua dicap sebagai anggota yang harus ditangkap dan lain-lain, padahal orang yang lapor itu tidak senang atau karena ada masalah pribadi,” tutur Amandus.
Tuduhan sebagai anggota atau pengikuti Yogi, ujar Aman, harus dipulihkan. Warga tidak boleh dengan mudah distigma seperti itu. Orang Papua khususnya Suku Mee masih trauma dengan operasi militer masa lalu. “Saya kira, soal tuduhan itu perlu dipertanyakan langsung kepada Kapolres Paniai.”
Fery dan Sipri sebagai kepala keluarga, tentu saja sangat dinanti-nantikan istri dan anak-anak mereka. Kehilangan kehangatan suami sekaligus ayah sudah dirasakan selama empat hari terakhir. “Kalo nanti terjadi apa-apa sama mereka dua, apakah Polres dan si pelapor mampu menjamin kehidupan anggota keluarganya di kampung? Laporan ke polisi itu rekayasa, sangat tidak benar, jadi tolong ditarik kembali. Mereka dua warga biasa dan sehari-harinya bekerja untuk menafkahi keluarga,” tuturnya.
Seiring isu pendropan aparat keamanan ke Paniai, makin mengkhawatirkan kerabat terdekat Fery dan Sipri, jangan sampai ada operasi pengejaran. “Tuhan, lindungilah bapak dan anak saya,” Mama Yeimo sembari meneteskan air mata.
“Setahu saya tidak ada warga yang masuk DPO,” kata sebuah sumber di Mapolres Paniai menanggapi SMS berisi tuduhan itu.
***
SETELAH ditelusuri, ada beberapa hal yang kemungkinan besar bertujuan menjerat Fery dan Sipri. Pertama, pada pengangkatan Sekretaris Kampung (Sekkam) se-Kabupaten Paniai sebagai PNS tahun 2010 lalu, Ferdinandus Tekege yang juga staf di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Paniai, mendapat SK Sekkam Epouto. SK dari Pemerintah Pusat itu kemudian dipersoalkan oleh beberapa pihak yang tidak menghendaki ia merangkap dua jabatan sekaligus.
“Memang banyak kali mereka perkarakan saya soal SK Sekretaris Kampung. Untuk mendapat kejelasan sekaligus menyelesaikan polemik, kami sama-sama ke Bagian Pemdes dan sudah pula bertemu langsung dengan Sekda, tapi dikatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Paniai tidak berwenang untuk bisa merubah SK Pemerintah Pusat,” tutur Fery sembari menambahkan, “Jawabannya begitu dan meski jalan sudah buntu, mereka masih terus ngotot minta SK itu.”
Yang kedua, ada orang tertentu iri hati terhadap usaha ternak sapi milik keluarganya yang kini berkembang baik. Pernah pula menuduh Fery mengambil seekora anak sapi milik David Tatogo. “Itu saya sudah jelas. Jadi, saya tidak ada masalah. Tapi, mungkin dua hal ini yang melatarbelakangi mereka menuduh saya sebagai anggota Yogi,” katanya.
Persoalan yang seharusnya bisa ditangani baik di kampung, tetapi justru dikemas dengan cara meniupkan tuduhan tidak mendasar oleh oknum tidak bertanggungjawab agar amarahnya terlampiaskan karena telah diketahui pihak berwajib, memaksa mereka dua harus bertahan di tengah hutan. Sudah empat hari menahan gigitan nyamuk. Menahan haus dan lapar. “Entah kapan kami dua akan kembali ke kampung untuk bisa berjumpa dengan seluruh anggota keluarga di rumah?.” ***
Markus Youw (Wartawan tabloidjubi.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar