GEREJA KEMAH INJIL (KINGMI) DI TANAH
PAPAPUA
Akte Notaris Nomor 37 Tanggal 20 Maret 1973
Surat Keterangan telah mendaftarkan diri di Depag RI No.E/VII/62/424/73
BADAN PENGURUS HARIAN (BPH) SINODE
Alamat: Jalan Dr. Sam Ratulangi No. 13 Jayapura, Papua Tlp. (0967) 531531
Akte Notaris Nomor 37 Tanggal 20 Maret 1973
Surat Keterangan telah mendaftarkan diri di Depag RI No.E/VII/62/424/73
BADAN PENGURUS HARIAN (BPH) SINODE
Alamat: Jalan Dr. Sam Ratulangi No. 13 Jayapura, Papua Tlp. (0967) 531531
-------------------------------------------------------------------------------------
Hal: Surat terbuka Terkait
Dokumen Rahasia Pangdam Erfi Triassunu Menstigma Gereja Kingmi Papua
Lampiran: tidak ada.
If there is conflict between the government and
the church it is not because the church is a political opponent of the
government. It is rather because the conflict is already established between
the government and the people and the church defends the people[1].
Kepada
Yth: Bapak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono
Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata RI
Di Jakarta
Dengan hormat,
Melalui surat ini, kami sebagai
pimpinan umat Kingmi di Tanah Papua menyampaikan secara terbuka kepada Bapak,
keprihatinan Gereja kami menyikapi sebuah dokumen Rahasia bernomor: R/773/Iv/2011 yang dikeluarkan pada tanggal 30 April,
oleh Mayjend Erfi Triassunu, Pangdam XVII/Cenderawasih atas laporan
Pdt. Karel Maniani STh, Ketua GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia) wilayah Papua
dan masukan dari berbagai kalangan di Kodam yang diangkat media asing pada
tanggal 7 Juli lalu.
Melalui dokumen tsb, Panglima
Kodam Cenderawasih menyatakan:
(a)
Kami, Sinode Gereja Kingmi Papua sebagai Gereja
berbasis kedaerahan/kesukuan yang dibentuk untuk mendapat dana
sebanyak-sebanyaknya dari Pemerintah untuk membiayai perjuangan Politik Papua
merdeka dengan dalih wakil umat.
(b)
Sementara Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII)
mengedepankan pelayanan pekerjaan Tuhan dengan pembinaan umatnya.
(c)
Sehingga Sinode Gereja Kingmi Papua memahami
misinya mengembangkan/ gelagat unsur politik Papua merdeka) dengan dalih
dogmatik injil, sementara
GKII mempertahankan Dogmatika yang diwariskan oleh misionaris.
Berangkat dari pandangan seperti
itu Pangdam dalam dokumen tsb menyarankan kepada agar Pemerintah sbb: (a)
memfasilitasi pertemuan untuk menyelesaikan konflik tsb, sambil mengajukan
Kodam XVII/Cenderawasih sendiri sebagai mediator (b) apabila tidak bisa dengan
cara itu, diambil “tindakan tegas” sesuai dengan misi/tujuan dari dogmatika
injil.
Bapak Presiden yth, kami
menyikapi stigma politik tsb dengan mengeluarkan surat terbuka ini.
Pertama karena stigma ini selalu
dipakai lembaga pemerintah dan swasta di negeri ini untuk mendiskriminasi umat
kami dalam memberi promosi jabatan atau penerimaan pegawai baik swasta maupun
negeri. Sejumlah anggota jemaat kami
tidak diterima sebagai pegawai hanya karena
keanggotaannya sebagai warga Gereja Kingmi Papua.
Demikian
juga MAF (Mission Aviation Fellowship) yang telah lama bergerak dalam bidang
jasa angkutan misi Gereja di Papua sejak 1950an, dibawah tema” Wings
of love (sayap kasih)” belakangan ini menjadi “Wings of discrimination” in
the name of God, (sayap diskriminasi atas nama TUhan) dengan menolak
melayani kebutuhan penerbangan warga Papua hanya karena mereka memilih menjadi
anggota Gereja ini, yang telah dirintis sejak Januari 1938. Para pengerja
Gereja kami yang telah membayar biaya tiket sudah di atas pesawat siap untuk
diberangkatkan sering diturunkan dari pesawat
karena stigma ini.
Banyak juga warga jemaat dan tokoh Gereja dan masyarakat yang
dibunuh dan dibungkam dan sebagian lagi sudah dan sedang mendekam di penjara
/Lembaga Pemasyarakat di Papua lewat tudingan ini. Karena itu, menyikapi
tuduhan yang dibuat terhadap Gereja kami secara terbuka.
Kedua, budaya
menstigma Gereja Papua telah berurat akar dalam lembaga pemerintah di tanah
Papua. Penelitian terhadap arsip Gereja kami menunjukkan bahwa: tuduhan kepada
Gereja-Gereja Papua sebagai pendukung Nasionalisme Papua pernah dikeluarkan
lewat sebuah dokumen serupa oleh petinggi Tentara Indonesia di Papua dalam
bulan September 1966, dalam bentuk stensilan berjudul: Penertiban Kegiatan-Kegiatan Misionari di Irian Barat. Saat itu
pimpinan-pimpinan Gereja Papua masing-masing: Pdt.
F.J.S. Rumainum (Sinode GKI), Pater H. Haripranata SJ (Wakil Geredja Katolik
Irian Barat), Pdt, Ch.D. Paksoal (Sinode KIngmi), Pdt. Th. Itaar (Geredja Betel
Pentakosta) dan Pdt. N. Sumual (Geredja Pentakosta):memberi sanggahan
terhadap tudingan tersebut.
Dalam bulan Agustus 2007, Ramses
Ohee, bos dari Barisan merah putih sebagai milisi binaan pemerintah melemparkan tuduhan yan sama terhadap Alm
Pdt. Corinus Berotabuy, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua di tuduh ke Australia
untuk mencari dukungan dari rakyat
Australia dari rakyat Australia.
Tanggapan terhadap surat ini kami berikan secara terbuka karena kami
menduga “memberi tudingan terhadap lembaga-lembaga Gereja di Papua sebagai
kendaraan politik Papua merdeka” sebagai bagian dari tupoksi (tugas pokok dan
fungsi) pemerintah /KOdam, toh tudingan ini dilakukan untuk ketiga kalinya sejauh yang terungkap, mungkin masih
banyak dokumen rahasia lainnya.
Ketiga,
surat terbuka ini kami buat dengan mengacu juga kepada “deklarasi teologi”
Gereja-Gereja di Tanah Papua (tanggal 26 Januari 2011) dan atas dasar keyakinan Gereja kami bahwa: Allah
Kitab Suci kami, Allah leluhur kami bangsa (orang asli) Papua dan Allah
Gereja kami: melihat negara dan
pemerintah dari sudut pandang dan rencanaNya sendiri sebagai Pencipta. Negara
dari sudut pandang itu tidak berdiri sendiri dan tidak otonom. Pemerintah dan Negara adalah
lembaga yang ditetapkan Tuhan untuk memelihara dan melindungi umatNya; yang
berperan sebagai “anugerah pencegah: gratia preveniens”, yang diberi kuasa dan wewenang oleh TUhan
untuk menjalankan tugas preventif: mencegah
kekacauan, kemiskinan, kekerasan dan kekalutan dan perbuatan jahat,
pembunuhan etnis, dll untuk mencegah gerakan dan tindakan reaktif menyikapi
keadaan tadi.
- Dalam Mazmur 72, yang kami pahami sebagai doa dari upacara pelantikan raja, Allah mengaruniakan kuasa dan wibawa kepada raja/penguasa negara; supaya ia bisa “memerintah dan mengadili umatnya dengan hokum dan keadilan & memerintah yang tertindas dengan kebenaran … memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu dan menolong orang-orang miskin dan meremukkan pemeras-pemeras. … sayang kepada orang lemah dan orang miskin … menebus nyawa mereka dari penindasan dan kekerasan, darah mereka mahal di matanya… (Maz. 72: 1;2,4, 14).
- Dalam Yoh 19:11a, kuasa dan wewenang untuk memerintah diberikan oleh TUhan. Kata Yesus kepada wakil kekaisaran Romawi: Engkau tidak mempunyai kuasa apapun, terhadap Aku jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, kekuasaan pemerintah dan Negara sebagai sebuah lembaga diberikan oleh Tuhan.
- “Tidak ada pemerintah tidak yang berasal dari Allah” (Roma 13:1)
Surat terbuka ini kami buat
karena keyakinan kami bahwa kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah dan
Negara (termasuk Pangdam XVII /Cendrawasih) diberikan oleh Tuhan untuk
mewujudkan amanat Tuhan tadi yang terdapat dalam ayat Firman TUhan tsb.
Dengan pijakan di atas kami
sampaikan bebeberapa hal berikut kepada Bapak sbb:
Pertama, kami menolak segala
usaha baik sengaja maupun tidak oleh pihak manapun yang berupaya menggiring
opini public untuk mereduksi hakekat keberadaan lembaga agama menjadi organisasi politik; atau
mengidentikkan Gereja dengan OPM. Kami menyesalkan sikap dan kebiasaan yang
telah lama dipelihara dalam benak penguasa pemerintah yang melihat semua gerak
dan dinamika kehidupan Gereja Papua semata-mata dari sudut pandang politik.
Cara pandang demikian menghalangi penguasa gagal melihat peran Gereja membangun
persaudaraan dan kesetia-kawanan dengan mereka yang menderita dan tersingkirkan.
Kedua, dengan berpijak kepada
keyakinan demikian, kami menyatakan bahwa Sinode Gereja Kingmi Papua tidak
seperti apa yang dibayangkan oleh pemerintah yang diwakili Pangdam dan Gereja
Kemah Injil Indonesia dan lembaga binaan lainnya. Kami menolak posisi
“pendukung OPM” yang diberikan Pangdam; kami yakin ini sebuah siasat untuk
untuk mematikan peran kenabian” Gereja di Tanah Papua; yang dilakukan untuk
menjaga proyek Papua sebagai “situs kekerasan”, situs ratapan dan trauma” warga
bangsa (orang asli) Papua, yang menurut kami bertentangan dengan apa yang
diajarkan Tuhan dan Allah Gereja kami.
Ketiga,
Gereja kami digambarkan Pangdam sebagai Gereja berbasis kesukuan dan
kedaerahan; yang menjadi kendaraan politik perjuangan Papua Merdeka. Pertanyaan
kami kepada Bapak Presiden ialah: apakah HKBP (Gereja berbasis suku Batak dan
kedaerahan ) juga memperjuangkan politik Tapanuli Merdeka? Atau Gereja Gereja
Kristen Jawa (Gereja yang berbasis suku Jawa dan kedaerahan): apakah Gereja
Kristen Jawa memperjuangkan Jawa Merdeka? Atau Gereja Toraja dan Gereja
Protestan Maluku: apakah Gereja itu memperjuangkan Tanah Toraja merdeka atau
Republik Maluku Selatan (RMS)? dll
Keempat, kami menilai dokumen
yang dikeluarkan Bapak Pangdam tidak obyektif; bersifat mengada-ada. Ia dibuat
berdasarkan Laporan sepihak dari seorang Pdt. Karel Maniani, yang kalah dalam
gugatan Pengadilan melawan Sinode Gereja Kingmi Papua. Seharusnya: Bapak
Pangdam meminta masukan dari kami dan kementerian terkait: Pengadilan Negeri
Jayapura. Kementerian Agama, dll. Ini bagi kami, tanda bahwa memang Pemerintah
Indonesia sedang menargetkan Gereja kami. Kami terima ini sebagai Salib yang
kami pikul, tetapi dengan catatan “kami tidak menerima posisi yang diberikan
pak Pangdam”.
Kelima,
Bapak Presiden, ijinkan kami mengutip di
sini refleksi seorang pimpinan umat, Oscar Romero (1917 -1980), uskup Agung
Katolik di ElSalvador (yang telah kami kutip pada awal surat terbuka ini), Kalau ada konflik antara pemerintah dan
Gereja, konflik tsb bukan karena Gereja adalah
oposisi pemerintah (seperti yang dibayangkan petinggi Negara ini di
Papua -BG) tetapi karena konflik itu
sudah ada antara pemerintah dan rakyat, dan Gereja membela umatnya. (If there is conflict between
the government and the church it is not because the church is a political
opponent of the government. It is rather because the conflict is already
established between the government and the people and the church defends the
people[2]).
Keenam, konflik yang sudah ada
antara pemerintah dan rakyat (butir keempat) menurut kami terkait sejarah
Papua. Menurut rakyat Papua dan para peneliti: Prof. Drooglever dan Prof. John
Saltford, Pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan masyarakat
internasional telah membelokkan sejarah Papua lewat Pepera tahun 1969.
Melalui Pepera tahun 1969, Indonesia
menentukan nasib dan masa depan Papua, dengan menyangkal hak bangsa (orang
asli) Papua untuk menentukan pilihannya secara bebas. Akar persoalannya ada di
sana. Karena itu menyelesaikan masalah ini, kami mengusulkan agar ditempuh
jalan dialog. Tidak dengan menyebar “politik
stigma” dan “politik otot” atau “politik mengalihkan atau mencari
kesalahan di pihak Gereja” atau masyarakat sipil lainnya.
Sebagai Gereja, kami terus
berhadap Bapak Presiden menggenapi janji kampanye Bapak untuk memperjuangkan
Papua yang aman dan nyaman, tidak hanya untuk pendatang tetapi terlebih warga
bangsa (orang asli) Papua.
Sambil berdoa supaya Tuhan
memberikan pencerahan kepada pemerintah dan Negara ini agar ia berubah wajah,
tidak hanya “rajin-rajin memasang
spanduk: damai dan kasih itu indah”
dan rajin-rajin memekarkan Provinsi dan kota/Kabupaten di Tanah Papua, tetapi
mulai mengeluarkan aturan hokum dan kebijakan yang berpihak kepada rakyat
Papua agar umat Tuhan di Tanah ini bisa
memekarkan potensi dan idealisme dan impian hidup baik yang dikaruniakan Tuhan
kepadanya; yang selama ini dikekang politik stigma dan kebijakan serta ideology
pembangunan yang tidak berpihak kepada bangsa (orang asli) Papua.
Atas perhatian dan perubahan arah
dan kebijakannya yang dibuat di tanah Papua dalam rangka mengembalikan peran
Negara dan pemerintah sesuai amanat Firman Tuhan di atas, kami ucapkan terima
kasih.
Jayapura
16 Juli 2011
Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua
(Pdt.
Dr. Benny Giay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar