Menindaklanjuti Aspirasi Penolakan Otsus

Pdt. Dr Benny Giay dan Pdt. Socratez Sofyan Yoman MA ketika menyampaikan keterangan pers di Kantor Sekretariat Gereja KINGMI di Tanah Papua, Jalan Sam Ratulangi, Jayapura, Rabu (9/3).
Khususnya orang asli Papua apa yang kami temui, berbagai instansi pemerintah ditingkat pusat pada dasarnya melemparkan tanggungjawab kepada pimpinan pemerintah di Tanah Papua sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kegagalan Otsus Papua.
Sikap ini kami nilai tak sepenuhnya benar karena kegagalan Otsus juga memperlihatkan tiadanya kemauan politik dan kesungguhan dari pemerintah pusat sendiri dalam membangun orang asli Papua. Hal ini telah kami tegaskan di dalam Deklarasi Theologi Gereja-Gereja Papua tanggal 26 Januari 2011, bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal membangun dan mensejahterakan orang asli Papua.
Kedua, mengingat bahwa semua pihak telah mengakui kegagalan Otsus, maka kami tetap mendesak pemerintah, baik di pusat maupun di Tanah Papua agar segera mengumumkan secara resmi penghentian pelantikan MRP Jilid II karena sudah tak aspiratif lagi dan tak memiliki landasan hukum yang kuat.
Usaha-usaha yang sedang dilakukan pemerintah pusat dan aparat pemerintah daerah ini untuk menghadirkan MRP Jilid II kami pandang sebagai bentuk arogansi dan upaya pemaksaan kehendak yang hanya makin memperparah konflik antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia.
Ketiga, kami tetap berpijak suara umat Tuhan yang terus mendesak pemerintah Indonesia untuk menggelar dialog dengan rakyat Papua yang difasilitasi pihak ketiga yang netral, tanpa syarat.
Kami yakin bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memiliki pengalaman yang sukses dalam dialog dengan rakyat Aceh, maka dialog serupa dapat pula dilakukan dengan rakyat Papua.
Dialog merupakan cara yang paling bermartabat, damai dan demokratis yang diterima luas oleh masyarakat dunia dewasa ini sebagai modal penyelesaian konflik yang sudah dilakukan di berbagai wilayah lain.
Keempat, kami menolak pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) ataupun istilah, “Komunikasi Konstruktif” yang bertujuan menutupi kegagalan Otsus dan mengaburkan tuntutan dialog rakyat Papua.
Semua kebijakan yang dibuat negara bagi Papua, seharusnya terlebih dahulu berkonsultasi dengan rakyat Papua dan lahir sebagai kesepakatan antara pemerintah dan rakyat Papua.
Kelima, Kami menolak segala bentuk tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan negara ini dengan tujuan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berdemokrasi di Tanah Papua, seperti penikaman yang dialami oleh wartawan Banjir Ambarita.
Karena itu, kami mendesak pihak kepolisian untuk segera mengungkap pelaku penikaman tersebut dan memproses sesuai hukum yang berlaku demi memberikan rasa aman dan keadilan bagi korban, juga seluruh masyarakat di Tanah Papua. (mdc/don/03)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar